19 Februari, 2009

Kompetensi SDM PR dalam Pengelolaan Krisis di Perguruan Tinggi

Oleh: Ida Anggraeni Ananda

Disajikan dalam Seminar Nasional HIMA PR Universitas Mercu Buana.

Jakarta, 14 Juni 2007


KASUS DAN KRISIS

Krisis adalah sebuah kondisi yang tidak terprediksikan sebelumnya. Kondisi atau kejadian tersebut dapat membawa kepada potensi negatif. Kondisi krisis bahkan dapat dikatakan sebagai turning point sebuah organisasi. Jika berhasil di atasi maka ia akan dapat terus hidup atau jika tidak itulah titik awal kematiannya. Krisis dari berbagai literatur, salah satunya di bawah ini, digambarkan sebagai

A crisis is a major, unpredictable event that has potentially negative results. The event and its aftermath may significantly damage an organization and its employees, products, services, financial condition, and reputation (Barton, 1993;2)


Melihat definisi itu, dapat dipastikan krisis adalah hal yang ditakuti oleh organisasi, karena pada prinsipnya tidak ada satu organisasipun yang rela organisasinya "hancur" setelah perjuangan dan dan kerja keras seluruh anggotanya selama ini.

Masih ingat peristiwa penembakan mahasiswa Indonesia di Amerika beberapa waktu yang lalu? Ya! bagi sebuah organisasi dalam hal ini Perguruan Tinggi, hal tersebut dapat menjadi sebuah krisis. Masih ingat kasus STPDN? (meskipun STPDN tidak berada di bawah DIKTI), ya itupun dapat menjadi krisis. Belum lagi kasus – kasus yang lainnya seperti misalnya perebutan kekuasaan antara yayasan dan institusi pendidikannya, kenaikan SPP, masalah korupsi di kampus, masalah jual beli nilai, bahkan gempa bumi seperti yang terjadi di Yogyakarta, merupakan ancaman bagi perguruan tinggi, dll

Krisis tidak harus selalu diawali dari sebuah kejadian besar. Issue sekecil apapun, tetapi jika tidak dikelola dapat berpotensi menjadi issue. Grunig (1992) dalam Toth (2007) menyebutkan bahwa

When conflict occurs, publics "make an issue" out of the problem. Organizations use he process of issues management to anticipate issues and resolve conflct bfore public maks it an issue. Organizations that wait for issues to occur before managing their communication with strategic publics usually have crises on heir hands and have to resort to short-term crisis communication (Toth, 2007;416)


Tidak ada organisasi yang dibangun untuk mati. Setiap organisasi baik itu profit maupun non profit, secara mati-matian berjuang mencapai tujuannya, dan kita tahu bahwa organisasi dapat dikatakan efektif jika dapat mencapai tujuannya.

Perguruan tinggi sebagai organisasi juga berjuang mencapai tujuannya. Meskipun jika dilihat tujuan pendidikan nasional dapat dikatakan abstrak dan terlalu umum tetapi Tirtaraharja mmeberika batasan yang dapat diakomodir. Tirtaraharja mengatakan bahwa tujuan utama pengelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal. Sebab berkembangnya tingkah laku peserta didik sebagai tujuan belajar hanya dimungkinkan oleh adanya pengalaman belajar yang optimal itu. (Tirtaraharja, 2005; 41). Berdasarkan premis-premis itu dapat ditarik kesimpulan, jika proses belajar mengajar terhambat maka dapat dikatakan itu adalah masalah. Masalah yang tidak disikapi dapat memunculkan isu diluar masalah. Isu tersebut dapat berpotensi memunculkan krisis. Krisis dapat membuat organisasi mati… TIDAK ADA ORGANISASI YANG INGIN MATI

KRISIS ADALAH MASALAH PR

Oleh karena itu hanya ada dua pilihan dalam menghadapi krisis yaitu lakukan secepat mungkin atau lupakan saja. Jika krisis ditangani secara terbuka, hatihati dan mudah diakses maka peluang krisis akan berakhir akan semakin cepat secepat krisis tersebut mulai. Sebaliknya, jika jalan yang dipilih adalah melupakannya dan menganggap bahwa itu bukan siapa-siapa atau menganggap itu tugas orang lain untuk mengerjakannya, sementara kita hanya pasrah kepada keadaan atau hukum yang ada, maka kita akan termakan oleh krisis itu.


Tetapi sayangnya jika dilihat, ada banyak perusahaan yang memilih cara, yang kedua, meniadakan krisis atau tidak punya sense of crisis sama sekali. Pada saat orang di sekitarnya sudah ramai membahas dan memperbincangkan tentangnya, mereka tidak tahu tentang masalah itu.

Sebetulnya karena Krisis erat hubungannya dengan issue, manajemen issu dan mengkomunikasikan issue tersebut kepada publik, maka sebetulnya peran PR ada di situ. Sayangnya, sekali lagi seperti hal di atas, PR sering tidak siap berdiri tengah untuk mengelola dan berhadapan dengan krisis. Atau jika PR siap, para CEO di organisasi tersebut, tidak memberikan kesempatan untuk berperan. Kadang-kadang CEO menganggap PR, di perguruan tinggi "tidak perlu" mengurusi krisis, karena krisis adalah sesuatu yang sangat spektakuler dan PR di Perguruan Tinggi dianggap belum terlalu "spektakuler" atau mungkin beberapa beranggapan bahwa PR di Perguruan Tinggi lebih berfungsi sebagai marketing saja.


PR seharusnya berperan penting dalam hal ini. Jika didefinisikan dari berbagai sumber bahwa PR adalah manajemen komunikasi antara organisasi dan publiknya, yang fungsinya memantapkan dan membina hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan publiknya (yang menentukan sukses/gagalnya organisasi), maka berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa peran PR pun seharusnya adalah berperan sebagai manajer komunikasi bukan hanya teknisi komunikasi.


Seperti telah diketahui bersama, ada 4 (empat) peran PR dalam organisasi. Yang dapat dijadikan 2 (dua) besar peran dominan PR. PR sebagai Communication technician dan PR sebagai Communication manager. Sebagai communication technician, PR ditekankan sebagai aplikasi ketrampilan individu dalam melakukan program komunikasi serta aktifitas seperti penulisan news release, mengedit house magazine, memengembangkan website organisasi,dll..


Peran yang kedua adalah communication manager yang terdiri dari expert prescriber, communication facilitator dan problem solving facilitator. Sebagai expert prescriber, manajemen mempercayakan penuh otoritas dalam bidang komunikasi. Sebagai communication facilitator peran mediasi, interpretasi dan keterbukaan komunikasi dua arah antara organisasi dan publik dilakukan. Mereka melakukan fungsi boundary spanner yang sesungguhnya, bekerja berdasarkan prinsip mutual understanding, Sebagai problem solving facilitator, PR bekerja dengan orang-orang lain dalam organisasi untuk bersama-sama mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang ada. Mereka dilibatkan kedalam penyusunan strategi sejak dini, membantu menentukan objektif organisasi, mendefinisikan komunikasi yang diharapkan serta implementasinya (Theaker,2001;43-44). Sehingga dapat dikatakan bahwa Dalam hal ini, PR harus mampu menjadi jembatan komunikasi antara organisasi dan publiknya.

KONTRIBUSI PR DALAM PENDIDIKAN DAN KASUS KRISIS DI PENDIDIKAN

Isu Strategis Pendidikan Tinggi

Sebelum membahas kasus-kasus yang ada di Perguruan Tinggi, ada baiknya terlebih dahulu digambarkan kondisi umum perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Kita tidak akan secara makro melihat perkembangannya, tetapi yang menarik untuk disikapi dan ditindaklanjti adalah rencana jangka panjang pemerintah tentang pendidikan. dengan visinya yang dikenal dengan visi 2010, menekankan kepada organisasi yang sehat yang terwujud dalam sistem pendidikan tinggi yang sehat (A Healthy Higher Education System).

Healthy organization untuk pendidikan didefinisikan sebagai kemampuan menciptakan kebebasan akademis, penghargaan terhadap inovasi dan kreatifitas, memberdayakan setiap individu untuk berbagai pengetahuan dan kerjanya dalam rangka membangun organisasi yang sukses (DGHE,2003;5). Isu-isu strategis yang dijadikan landasan pengembangan kebijakan hingga tahun 2010 meliputi tiga hal yaitu nation's competitiveness, Autonomy dan Organization health

The nation's competitiveness merupakan besaran isu yang pertama. Hal ini meliputi integrasi bangsa, globalisasi, riset dan pendidikan, diferensiasi misi serta akses kepada pengetahuan. Globalisasi bukan harus ditakuti tetapi juga bukan berarti dapat diabaikan. Globalisasi erat dengan teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menembus jarak ruang dan waktu. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi juga membawa pengaruh pada bidang pendidikan. Trend munculnya bentuk baru pendidikan seperti distance learning, twinning, sandwich dan lain-lain dapat dianggap merupakan peluang sekaligus ancaman. Ancaman bagi perkembangan pendidikan di Indonesia adalah mereka harus bersaing dengan institusi pendidikan luar tersebut padahal hingga saat ini pendidikan yang ada pun dapat dikatakan sedang dalam proses rekonstruksi.

Sub isu lainnya dari the nation competitiveness adalah riset dan pendidikan, mission diferensiasi dan akses kepada pengetahuan. Pendidikan diharapkan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini menjadi isu yang dicadangkan karena dipandang, supaya Indonesia mampu bersaing dengan bangsa lain maka Indonesia harus mampu mandiri dalam bidang pendidikan.

Pendidikan di indonesia mengacu pada tiga dharma yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Isu ini memang akan banyak sekali tantangannya terutama dari masalah dana. Kerjasama dengan berbagai pihak untuk mencari funding bagi pelaksanaan riset dan pendidikan perlu dikembangkan. Kerjasama lainnya adalah untuk mempertinggi skill bagi para lulusan perguruan tinggi. Masalah keterserapan lulusan di dunia kerja juga masih menjadi masalah sehingga diharapkan jika ada upaya penambahan skills baik di jalur pendidikan nya ataupun sebagai bentuk continuing education, akan membantu tercapainya human resources yang mampu bekerja. Kerjasama dalam hal ini dapat dilakukan dengan komunitas dan industri.

Isu Otonomy. Isu ini yang sekarang sedang menjadi banyak sorotan karena tampaknya salah satu dampak implementasi dari otonomi berimbas pada naiknya biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri. Rencana untuk menjadi perguruan tinggi menjadi PT BHMN (perguruan tinggi badan hukum milik negara) juga masih menjadi kontroversi.

Isu strategis ketiga adalah mengenai Organizational health meliputi institutional capacity building, university governance, financing, human resource dan quality assurance. Merespon isu otonomy dan desentralisasi, maka perguruan tinggi harus mampu menciptakan organisasinya menjadi organisasi yang sehat. Menjadi institusi yang otonom dan desentralis berarti memiliki konsekuensi logis penyediaan dana yang sangat besar. Oleh karena itu upaya menjalin kerjasama dengan berbagai pihak harus dipikirkan.

Tugas perguruan tinggi sekarang ini bukan hanya merekrut calon mahasiswa dan memprosesnya saja. Tanggungjawabnya adalah mengelolanya menjadi sumberdaya yang memiliki jati diri lokal berkualitas internasional, meluluskan mereka, membuat mereka terserap pada dunia kerja lokal maupun internasional, mencari masukan dari pengguna guna pengembangan pendidikan selanjutnya baik bagi calon mahasiswa yang lain maupun bagi sumber daya manusia yang telah dilahirkan tadi (continuing education.


Nilai dan Kontribusi PR Bagi Organisasi Perguruan Tinggi

Berdasarkan isu tersebut maka perlu dipertimbangkan kembali, pola pikir PR adalah atau hanyalah marketing. Banyak hal yang dapat diupayakan PR untuk menjadikan organisasi dalam hal ini perguruan tinggi menjadi lebih efektif.


Hon (1997) dalam penelitian membuktikan bahwa nilai yang dibawa oleh PR yang efektif dapat membantu organisasi untuk bertahan, dapat membantu organisasi mendapatkan uang, dapat membantu fungsi lain dalam organisasi mendapatkan uang. Contohnya, hubungan antara PR dan keberhasilan fund raising yang membawa dampak sebuah departemen dalam universitas mendapatkan grand dari pihak lain. Selain itu PR yang efektif membantu organisasi untuk "save money" yang biasanya harus dikeluarkan untuk menangani krisis, regulasi, litigasi, konflik, dll. PR yang efektif membantu organisasi meredakan perlawanan.


Di atas telah disebutkan bahwa PR yang excellent dapat membawa nilai bagi organisasi. Save money sebagai value PR salah satunya didapat dari kemampuan menyelesaikan krisis.


Komunikasi PR dengan Publik Dalam Krisis

Jika dilihat dari media massa, sejauh ini kasus-kasus yang muncul adalah masalah perebutan kekuasaan yayasan dan institusi pendidikan, demo mahasiswa (sebagai publik internal), Tindakan anarkis, narkoba dan kriminal mahasiswa, kasus korupsi, dll.


Selanjutnya jika dianalisa lebih jauh lagi, kasus-kasus yang muncul setelah reformasi menjadi lebih banyak lagi. Perguruan Tinggi tidak dapat lagi berdiri sebagai organisasi yang tidak tersentuh kasus. Hal yang menarik dari pendidikan di Indonesia adalah hubungan organisasi dengan aktifis. Aktifis adalah publik yang boleh dikatakan spesial bagi sebuah oganisasi. Grunig mendefinisikan aktifis sebagai grup atau kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang diorganisir dengan tujuan mempengaruhi publik lain atau publik-publik melalui aksi yang melibatkan pendidikan, kompromi, persuasi, taktik presure atau force.


Menghadapi publik seperti ini (aktifis), membawa dampak bagi PR. Di satu sisi, ini adalah "Pekerjaan Tambahan" organisasi dalam hal ini perguruan tinggi (khususnya PR, jika ia dilbatkan). Tetapi dampak lain yang mengejutkan adalah dampak positif bagi PR. Holthauzen dalam Toth (2007), mengatakan bahwa munculnya aktifis dengan segala masalahnya merupakan "test case" bagi kemampuan PR. Hal ini dapat menjadi kesempatan PR dalam mempraktekkan ke PR annya, berhubungan erat dengan posisi dan fungsi PR di organisasi, uji pengetahuan bagi PR dan kemampuan komunikasi dua arah PR/organisas dengan publiknya (Toth, 2007;358)


Kompetensi SDM PR dalam Krisis

Pada masa krisis, seperti telah disebut di atas, PR harus muncul sebagai manajer komunikasi. Ia tidak lagi berperan hanya sebagai teknisi komunikasi saja. Sepeti halnya isebutkan oleh Toth di atas, menghandle publik dalam hal ini aktifis dalam krisis menjadi batu uji bagi PR. Di sinilah value PR dipertaruhkan.

Dozier (1995) menyebutkan bahwa Komunikasi bagi Organisasi dapat excellence apabila PR memiliki kemampuan dan pengetahuan komunikasi, adanya kesamaan harapan mengenai komunikasi yang excellence antara CEO dan PR, dan dalam hal ini PR dilibatkan dalam koalisi dominan, serta yang ketiga adalah budaya organisasi yang partisipatif. Niscaya jika ketiga hal ini ada maka komunikasi akan excellence an PR mendapat tempat yang tepat di organisasi.

Jika PR tidak mampu menunjukkan kemampuannya atau kompeten dalam menangani masalah komunikasi dalam hal ini misalnya krisis, bagaimana ia dapat diterima oleh organisasi?

Dalam hal penanganan krisis, ketrampilan dan pengetahuan yang harus dimiliki oleh PR adalah komunikasi dua arah yang simetrikal, ketrampilan dalam negosiasi dan riset serta manajemen isu dan manajemen krisis (Toth, 2007;361). Karena dalam hal ini organisasi dalam hal ini PR harus mampu mendengarkan seluruh publik, Berbicara dengan mereka, Komunikasi terus menerus dengan aktifis, Mau tahu dan mengakui legitimasi seluruh konstituen. Oleh karena itu sekali lagi mereka harus memiliki kemampuan sebagai komunikator, melakukan evaluasi efektifitas dalam jangka panjang dan mereka …PR harus berada dalam koalisi dominan bukan hanya teknisi atau ditempatkan sebagai pemasar saja atau di bawah pemasaran


Pustaka

Barton,Lawrence. (1993). Crisis in Organizations:Managing and Communicating in The Heat of Crisis. Ohio:South Western Publishing

Dozier,David M. (1995). Manager's Guide to excellence in Public Relations and Communication Management. Mahwah, NJ:Lawrence Erlbaum Associates

Grunig,L.A., Grunig.J.E.,&Dozier,D.M. (2002) Excellent PR and effective organizations: A Study of communication management in three counries, Mahwah,NJ: Lawrence Erlbaum Associates

Hon, Linda Childers1997, What Have You Done For Me Lately? Exploring Effectiveness in Public Relations, Journal Of Public Relations Research, 9(1), 1-30, Lawrence Eribaum Associate.Inc

Safir,Leonard. (2007).PR On A Budget. Free,Cheap and Worth the Money Strategies for Getting Notice. Chicago:Kaplan Publishing

Theaker,Alison.(2001), The public Relation Handbook. London:Routledge

Toth, Eizabeth L. (2007). The Future of Excellence in PR and Communication Management.Mahwah,NJ:Lawrence Erlbaum Associates

Umar Tirtaraharja & S.L.La Sulo. (2005) Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta




Tidak ada komentar:

Posting Komentar